Hari Puisi Nasional 28 April, apresiasi para penyair Indonesia

Tidak ada yang bisa memungkiri, Chairil Anwar merupakan salah satu seniman dan penyair paling legendaris di sejarah dunia seni Indonesia; sebagai pelopor angkatan kesusasteraan yang bernama Angkatan 45, Chairil Anwar membawa aliran baru yaitu ekspresionisme–sebuah aliran yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan keinsyafan.

Chairil Anwar

Indonesia kehilangan Chairil Anwar usia di umur yang masih muda, 27 tahun, dan kepergian ini terjadi pada tanggal 28 April 1949. Hari meninggalnya Chairil Anwar kemudian diangkat menjadi Hari Puisi Nasional, yang berfungsi tidak hanya sebagai hari mengenang salah satu seniman dan penyair ternama di Indonesia, namun juga sebagai bentuk apresiasi terhadap dunia puisi Indonesia dan mereka yang berkutat di dalamnya.

Dunia puisi Indonesia memiliki cerita dan sejarah yang cukup lama, dan secara umum dibagi menjadi beberapa era:

Era Balai Pustaka

Pada angkatan ini, puisi masih berupa mantra, pantun, dan syair, yang merupakan puisi terikat.

Era Pujangga Baru  (1933-1945)

Jika pada angkatan balai pustaka penulisan puisi masih banyak dipengaruhi oleh puisi lama, maka pada angkatan Pujangga Baru diciptakan puisi baru, yang melepaskan ikatan-ikatan puisi lama.

Dalam periode ini terdapat beberapa julukan untuk penyair Indonesia, seperti Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, dan ia disebut oleh H.B. Jassin sebagai Penyair Dewa Irama. J.E. Tatengkeng disebut sebagai Penyair Api Naionalisme, dan sebagainya.

Era Angkatan 45 (1945-1953)

Jika pada periode sebelumnya melakukan pembaharuan terhadap bentuk puisi, pada periode ini dilakukan perubahan menyeluruh. Bentuk puisi soneta, tersina, dan sebagainya tidak dipergunakan lagi. Angkatan 45 memiliki ciri-ciri sebagai berikut : puisi memiliki struktur bebas, kebanyakan beraliran ekspresionisme dan realisme, diksi mengungkapkan pengalaman batin penyair, menggunakan bahasa sehari-hari, banyak puisi bergaya sinisme dan ironi, serta dikemukakan permasalahan kemasyarakatan, dan kemanusiaan

Sitor Simotupang, salah satu penyair terkemuka dari era angkatan 45

Era Periode 1953-1961

Jika pada angkatan 45 yang menyuarakan kemerdekaan, semangat perjuangan dan patriotisme, maka pada periode ini membicarakan masalah kemasyarakatan yang menyangkut warna kedaerahan. Sifat revolusioner yang berapi-api, mulai merada. Mulai banyaknya puisi beraliran romantik dan kedaerahan dengan gaya penceritaan balada. Puisi pada periode ini banyak yang mengungkapkan subkultur, suasana muram, masalah sosial, cerita rakyat dan mitos (Atmo Karpo, Paman Ddoblang, dan sebagainya).

Era Angkatan 66 (1963-1970)

Masa ini didominasi oleh sajak demonstrasi atau sajak protes yang dibaca untuk mengobarkan semangat para pemuda dalam aksi demonstrasi, seperti pada tahun 1966 ketika sedang terjadi demonstrasi para pelajar dan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Lama. Penyair seperti Taufiq Ismail dan Rendra, membacakan sajak protes mereka didepan para pemuda.

Taman Ismail Marzuki

Untuk mengobarkan semangat aktivitas kreatis angkatan 66, mulai munculah fasilitas-fasilitas sastra. Fasilitas tersebut antara lain, munculnya majalah Horison (1966), Budaja Djaja (1968, dan dibangunnya Taman Ismail Maruki (TIM), yang menjadi pusat kebudayaan.

Era Puisi Kontemporer (1970 – sekarang)

Pada periode ini puisi disebut puisi kontemporer, puisi yang muncul pada masa kini dengan bentuk dan gaya yang tidak mengikuti kaidah puisi pada umumnya, dan memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan puisi lainnya. Dalam puisi kontemporer, salah satu yang penting adalah adanya eksplorasi sejumlah kemungkinan baru, antara lain penjungkirbalikan kata-kata baru dan penciptaan idiom-idiom baru.

Emha Ainun Nadjib, atau yang lebih dikenal dengan nama Cak Nun, merupakan salah satu penyair paling terkemuka dari era kontemporer

Maju terus dunia puisi Indonesia!

About Author /

Leave a Comment

Start typing and press Enter to search